Rabu, 18 Februari 2009

memandang UIN, menjenguk realitas

"Tanggung jawab intelektual mahasiswa tak hanya berpijak pada tatanan teks saja, tetapi mahasiswa harus mampu terlibat langsung dalam realitas kehidupan masyarakat. (Muhammad Hatta ketika berceramah di Universitas Indonesia, 1957)"

PIKIRAN Bung Hatta di atas, mempertegas bahwa mahasiswa punya tanggung jawab tak hanya pada sisi intelektual saja, tetapi mahasiswa juga punya tanggung jawab pada sisi moral dan sisi sosial di ranah publik. Dengan status terpelajar, mahasiswa seharusnya sangat paham mengenai sesuatu yang baik dan buruk, serta isu yang layak didistribusi ke masyarakat. Mahasiswa harus berangkat dari akar rumput, sebuah akar rumput selalu mengandaikan bahwa mahasiswa harus mampu mencermati realitas masyarakat sesungguhnya, berupa tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial di wilayah publik secara riil.
Berpijak pada pikiran Bung Hatta seraya kemudian menjenguk perubahan kampus pasca konversi ADIA, IAIN, hingga kini menjadi UIN, budaya kampus pun seolah turut berubah dan terkontaminasi mengikuti perubahan jaman. Tak bisa dielakkan, budaya instant, minimnya wacana dan krisis nilai-nilai yang dirimbuni etos peradaban, sudah menjamur di kalangan mahasiswa UIN Jakarta. Situasi ini berbanding terbalik dengan esksitensi mahasiswa yang di dalamnya tumbuh piplar-pilar perubahan dan kebangkitan serta selalu memngusung slogan agen perubahan.
Pada titik ini, setiap mahasiswa harus bisa merasakan nilai waktu dan fase yang akan dilalui didalamnya, sehingga ia mampu melengkapi berbagai kekurangan, menumbuhkembangkan potensi, memperluas wawasan dan ide kreatif, mendisiplinkan budi pekerti dan menertibkan perilaku agar lebih memiliki nilai-nilai yang lebih konstruktif dalam membaca dan meraba latar depan sebuah negara bangsa.
Kemampuan membaca dan meraba latar depan bangsa inilah, yang tampaknya mengalami segregrasi ketika dihadapkan dengan realitas mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat ini. Sepintas terlihat bahwa sebagian besar mahasiswa yang juga bagian dari generasi muda berada pada keadaan yang sangat memprihatinkan; mereka bagaikan buih terbawa ombak, tidak memiliki bobot, limbung, dan mengalami krisis identitas diri dalam membaca dan meraba latar depan.
Idealnya, UIN Jakarta dengan label universitas, menjadi wadah perpaduan berbagai grand theory yang menjadi ikon mahasiswa. Namun sejatinya, tak cukup hanya berangkat dari teori-teori besar saja, perlu adanya keseimbangan gerak laju mahasiswa, seperti yang dikatakan Bung Hatta di atas, bahwa tanggung jawab intelektual mahasiswa tak hanya berpijak pada tatanan teks saja, tetapi mahasiswa harus mampu terlibat langsung dalam realitas kehidupan masyarakat.
Dalam konteks ini, kata masyarakat di atas dapat ditarik lebih sempit lagi menjadi masyarakat dalam scope kampus. Jujur harus kita akui bahwa mahasiswa yang notabene sebagai salah satu motor penggerak universitas, masih limbung menerjemahkan atribut yang dikenakan. Contoh yang bisa diapungkan di sini ketika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dihinggapi para aktivis dari berbagai organisasi ekstra, baik HMI, PMII, IMM, KAMMI dan masih banyak lagi, ironisnya fakta-fakta yang terjadi adalah tumbuhnya pribadi-pribadi yang terlalu asyik maksyuk dalam tataran organisasi (self ingroup), dan abai terhadap kerumunan wacana dan keterlibatan terhadap persoalan publik.
Jika kita merujuk pada ilmu komunikasi massa, terdapat tipe-tipe kolektivitas, sama halnya yang terjadi di UIN yang dapat digolongkan ke dalam tipe kolektivitas kelompok. Di mana ada kelompok yang sulit menerima keberagaman ide, gagasan dan pemikiran dari kelompok lain (the undifferentiated), sehingga kebenaran yang muncul adalah kebenaran menurut standar kolektivitas. Eksistensi individu tergerus kepentingan dan ideologi kelompok. Jarang sekali mahasiswa yang berbasis organisasi, mampu memecah antara wilayah publik dengan wilayah kelompok (coexsistence).
Seharusnya kehadiran organisasi ekstra bersifat fasilitatif, mampu mengeliminir kesenjangan yang muncul. Tapi realias yang ada justru berbanding terbalik. Memang terlihat mencolok antara mahasiswa yang aktif di organisasi dan yang masa bodoh dengan organisasi ekstra. Indikasi ini mempertehas, bahwa kelompok memang dapat mempengaruhi penilaian atau pendapat individu. Minimal, mahasiswa yang serius di organisasi intra maupun ekstra, terlatih dalam bersikap, bertutur dan berinteraksi dengan publik terkonstruk dengan baik. Mengerti tentang adab atau aturan yang beredar dan harus difungsikan.
Sulit menemukan budaya berorganisasi yang baik, tepat dan benar di kampus. Kampus sudah tercemari kepentingan yang selalu menghirup "udara politis". Tak bisa dibedakan antara kampus yang menjadi wadah untuk belajar dan berkarya, dengan kampus yang dijadikan lahan berpolitik. Memang jika kita sudah berada di wilayah publik, tentu tak akan lepas dari politik. Pertanyaan kemdian yang lahir, masih adakah politik yang bersih dan ideal di kampus kita ini? Masalahnya, dalam kultur UIN, organisasi ekstra maupun intra kampus seperti telah menjadi agama atau identitas diri, dan semuanya dihadapkan pada pilihan.
Menurut Arbi Sanit ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam kehidupan politik. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.
Seperti kita tahu, selain Bung Hatta dan Arbi Sanit, Edward Shill juga mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung jawab sosial yang khas. Shill menyebukan ada lima fungsi kaum intelektual, yakni mencipta dan menyebar kebudayaan tinggi, menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa, membina keberdayaan dan bersama, mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan peran politik. Sementara Arbi Sanit memandang, mahasiswa cenderung terlibat dalam tiga fungsi terakhir. Dan di tepi lain, Samuel Huntington menyebutkan bahwa kaum intelektual di perkotaan merupakan bagian yang mendorong perubahan politik yang disebut reformasi.
Lain dulu lain sekarang, gaya hidup dan budaya mahasiswa tentunya bergerak lebih dinamiks. Dulu rutinitas mahasiswa tak pernah absen mengkaji dan membedah buku-buku baru yang layak untuk didiskusikan, baik di dalam kampus maupun di luar kampus secara intens. Selalu saja menimbulkan pergulatan pemikiran dan sikap kritis yang melahirkan konstelasi pemikrian baru. Tampaknya, saat ini bukan lagi era mahasiswa mendiskusikan buku-buku baru, membedah dan menggeluti teori-teori sebagai basis gerakan pemikiran. Kini mahasiswa lebih mengedepankan penampilan artifisial dengan perangkat-perangkat yang mereka anggap keren, match, dan up to date. Bagi mereka, apa yang tampak terlihat mata lebih utama dan bermanfaat daripada pemikiran yang tersembunyi di dalam tempurung kepala. Jelas berbeda antara mahasiswa yang benar-benar intelek dengan yang ngintelek.
Kita tahu dan sadar, setiap individu memiliki mimpi untuk mempertahankan eksistensi dirinya di dunia yang terus berkembang dan masuk dalam perangkap era global. Tak bisa dipungkiri bahwa perkembangan jaman selalui diwarnai dengan perubahan keinginan dari generasi ke generasi, bukan kebutuhan lagi yang menjadi prioritas melainkan keinginan, seolah menyesuaikan keinginan "pasar." Generasi muda (mahasiswa) secara terbuka telah terkontaminasi oleh pop culture yang begitu kompleks. Kehidupan yang secara rutin dicekoki kemewahan sesaat, seolah menimbulkan kompetisi yang tak jauh berbeda dengan ajang bergengsi yang belakangan ini sering dipertontonkan di televisi, tak mutu. Jika sudah begini, siapa yang salah dan siapa yang harus bertanggung jawab? Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua.Tak bisa dielakkan krisis wacana berimbas pada ruang moral yang mewabah perlahan dan cepat di kalangan generasi muda, di mana generasi muda, sejatinya cikal bakal pemimpin latar depan.
Kurangnya akar pemikiran yang kuat untuk menopang budaya mahasiswa, mengakibatkan tumbuhnya disorientasi dan tentu saja disorientasi ini akibat terjadinya dislokasi. Antara mencari ilmu, mencari gelar tok atau pilihan lain untuk dapat menduduki singgasana kepemimpinan di tingkat jurusan, tingkat fakultas bahkan tingkat universitas yang serba politis. Terbukti dari segi bacaan mahasiswa yang minim dan aktivitas kuliah lalu pulang, mempertegas label mahasiswa yang tidak memiliki akar intelektual. Padahal sejarah dalam menimba ilmu di wilayah TK, SD, SMP dan SMA, amat sangat berbeda dengan dunia perkuliahan. Tak ada yang "menyuapi" ilmu dan wawasan secara rutin. Bukan mahasiswa namanya jika hanya menerima dan mendapatkan transfer knowledge dari dosennya, tetapi dia juga harus mencari informasi mengenai medan yang dihadapi. Di sinilah perjuangan seorang pengembara ilmu untuk tetap survive di dunia kampus, dunia dengan bermacam-macam pergulatan pemikiran.
Jika dicermati secara saksama, mahasiswa bukanlah robot dengan remote control, siapa yang bergerak dan siapa yang menggerakkan. Tapi sejauh mana dia mampu menggerakkan keilmuannya hingga mampu bergerak ke dunia yang ingin ditujunya. Kuncinya hanya dengan berbekal ilmu dan niat yang dibarengi semangat, sehingga dapat menancapkan kuku keilmuannya di mana pun dan menjadi jaminan. Untuk itu perlu adanya support dan kontrol dari berbagai pihak, baik keluarga, tenaga pengajar maupun pemerintah. Sebab, individu yang intelek tulen tak hanya cakap dalam beretorika dan berpikir saja, tetapi bagaimana dia mampu mendengarkan kritik orang lain dan mampu bersikap tanpa harus menyinggung dan merendahkan orang lain.
Itulah gambaran mengenai kondisi generasi muda dalam tataran kampus (mahasiswa) belakangan ini. Tapi, seluas apa pun jaringan dari organisasi manapun, tak akan berarti apa-apa tanpa kecerdasan individual. Karena kitalah yang akan mengukir sejarah kita sendiri. Sebagai kaum intelektual, kemampuan menulis menjadi salah satu anasir yang harus dikuasai, di samping kemampuan lainnya. Tugas mahasiswa sebagai kaum terpelajar mampu memberi pencerahan kepada masyarakat awam melalui kemampuannya dalam memilih dan memilah baik dan buruk, hitam dan putih.
Marilah kita mendayuh beragam aktivitas di kampus seraya menghimpun kekuataan pribadi dengan menambal sulam cara berpikir kita. Sebuah cara berpikir yang konstruktif dan memiliki paradigma yang terstruktur, akan menjadi jembatan untuk menuai ribuan keberkahan. Tentu saja, sebuah kerja berpikir kritis dan kerja pemikiran yang dibingkai teori-teori besar itu, sebagai kerja untuk memotret lebih detail peta kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Tetaplah menjadi mahasiswa yang ‘cuek’ tapi memiliki bobot intelektual yang mumpuni. Sikap cuek tak berarti alfa terhadap realitas kehidupan publik. Semoga.

4 komentar:

  1. hi,
    tulisan ndesi saya cuplik sedikit, silahkan lihat dan kasih komentar yang panjang yah. ini mengenai keruwetan lalulintas di depan kampus UIN

    BalasHapus
  2. ndesiani :
    sorry sy baru sempat check my mail. okay, terimakasih tuk apresiasinya terhadap tulisan sy. berbicara masalah keruwetan lalulintas dpn kampus UIN memang tak ada habisnya. tapi prinsipnya, tak hanya kesalahan warga UIN saja. mungkin terbaca sedikit subyektif ya, krn kebetulan sy mhswi UIN.coba kita perhatikan, berapa banyak dan lamanya angkot2 dan bis yang nongkrong dpn gerbang pintu keluar kampus???? banyak sekali. walaupun ada SDM (satpam), namun tak begitu efektif. so, back to person. namun, apakah Pak Komarudin Hidayat (Rektor UIN Jakarta) dianggap gagal dalam mengurus UIN dan sekitarnya???? tentu tak jadi sebuah parameter jika kita hanya menilik pada sisi lalulintasnya saja. marilah seraya kita berbenah bersama.
    ——————————----------------——————————-
    komuter :
    terima kasih sudah berkunjung balik dan kembali memberikan komentar yang membangun.
    apa yang ndesi (boleh ya?) katakan memang benar, angkot ngetem di depan gerbang kampus ga’ kira-kira alias ga’ tau waktu. itulah kenapa saya mengajak mahasiswa/i UIN sebagai warga terdekat agar bisa membantu tertibnya jalan TEPAT di depan gerbang UIN.
    mengenai pak Komarudin, saya tidak pernah menyinggung, karena gagal atau tidak dalam mengurus UIN dan sekitarnya, keruwetan lalu lintas bukanlah sebuah parameter. terlalu jauh bagi saya untuk berbicara kredibilitas pak Komarudin.
    saya hanya ingin mengajak mahasiswa/i yang berkecimpung langsung dalam civitas akademika UIN untuk mari berbuat yang lebih nyata dalam kehidupan ini, yang jelas-jelas terlihat di depan mata. tidak hanya mengurusi masalah situ gintung yang sudah me-nasional, atau membakar photo presiden (cetaknya mahal) karena ingin pemerintah berbuat sesuai keinginan mahasiswa/i.
    mari kita lakukan apa yang bisa kita lakukan, tidak usah suruh para birokrat untuk melakukan apa yang kita inginkan (cape teriak2 ga’ bakal didengerin). terima kasih lagi atas apresiasinya.

    BalasHapus
  3. yang paling prinsip menata diri sendiri

    BalasHapus