Selasa, 24 Maret 2009

“Arti Hidup Seorang NURRINA DESIANI”

Ketika raga ini terlahir dan belum mengerti isi dunia beserta penghuni alam raya, dipaksa hadapi panggung kehidupan seorang diri yang berlabelkan “kemandirian”. Semua seakan berharap pada satu cermin, cermin yang memunculkan bayanganku, kekuatanku dan segala tentangku saja. Seakan tak ada siapapu yang mampu membantuku selain Tuhan dan Keluarga yang mengasihaniku.

Ketika tak ada daya selain doa dan usaha, kini dirikupun sendiri, tapi aku layak sendiri di setiap sudut ruang dan waktu. Semoga tak ada sesal dan luka di hati. Jejak kehidupan tersimpan apik dalam memoriku sebagai seorang manusia dengan spesies perempuan, memori yang terbatas ini masih mampu melacak kenangan dan mengingat detil seriap peristiwanya. Satu hal yang kupertegas “MENGENANG BUKAN BERARTI TERPURUK”. Sejarahlah yang menjadi pelajaran berarti agar aku tak jatuh dalam lumpur yang sama. Lorong kehidupan yang masih panjang terpaksa harus aku hadapi.

Seseorang memberitahuku tentang arti hidup, sejatinya hidup hanyalah menunda kekalahan (Chairil Anwar). Perjuangan hidup tentu tak sedikit menguras keringat dan darah juang kita sebagai manusia, makhluk Tuhan yang tak mampu konsisten. Tak ada yang abadi di kehidupan duniawi ini, mencoba bertahan, sejatinya aku menuju gerbang kehancuran.

Rutinitasku telah aku habiskan dengan menata langit dan goresan masa depanku tiap harinya. Apa yang telah aku perbuat selama ini?? Hanya berkawan bayangan di balik dinding saja dengan barisan semut yang saling beradu satu dengan yang lain.

7665 hari atau hampir sama dengan 21 tahun jejak hidupku masih membekas dan aku masih berusaha mendapatkan suatu harapan tuk menggapai suatu tujuan yang baik dan bermanfaat. Kusadari secepatnya, seolah tak ingin dibuai mimpi terlalu lama, raga ini kian lama kian rapuh, kekuatan yang kubangun hancur sekejap, dialah sang penjahat yang amat sadis dan tak pandang bulu “PERASAAN”.

Kadang aku menangis, saat kubaringkan raga ini di atas pembaringan yang beralas kasur busa yang mulai lapuk dan kusam. Hmmmmmm. Aku tau, aku harus melakukan pembenahan dalam hidup, entah kemampuan berpikirku, raga dan jiwaku, status sosialku atau perasaanku. Lagi-lagi aku sadari akulah si makhluk Tuhan yang amat lemah itu, Nurrina Desiani, perempuan sunda asal Kota Sukabumi. Aku takut sendiri, sendiri dalam mengais arti kehidupan yang berserakan di setiap sudut ruang dan waktu, sendiri berjalan dan menghadapi pedihnya kehidupan sebagai perempuan yang limbung seperti kapas dan debu. Pasrah ketika angin menyapunya, entah dekat atau jauh, utuh atau bertebaran.

Kulangkahkan kedua kakiku, kuambil napas dalam-dalam hingga aku sesak, lalu kuteriakkan sekencang-kencangnya “SEMANGAT…SEMANGAT…SEMANGAT”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar