Selasa, 24 Maret 2009

“Kartini dalam Kacamata Sejarah”

Habis gelap terbitlah terang. Merupakan judul sebuah buku yang berisikan kumpulan surat-surat Kartini teruntuk sahabatnya Estelle Zeehandelaar di Belanda. Kartini dan bukunya tersebut takkan terpisahkan, keduanya akan tetap disebut dalam sejarah nasional. Namun, akankah jejak Kartini berimbas pada kehidupan perempuan Indonesia di masa kini?

Pada awal abad 16-an, Nusantara tersuburkan oleh hujan airmata, keringat tiada akhir, jeritan penuh penderitaan dan darah pribumi yang mewakili pengorbanan rakyat Jepara dalam melawan system tanam paksa oleh Belanda. Sungguh benar-benar kota beku yang diselimuti suasana kejamnya penindasan Bangsa Belanda yang tamak dan tak memiliki urat kemanusiaan.

Menengok ke sebelah Utara semenanjungg Nusantara yang merupakan pusat perdagangan dunia, mulai dari ras kulit putih yang disebut Bangsa Barat atau Eropa sampai dengan Bangsa Timur atau Melayu. Aktivitas tersebut tentu saja sangat menguntungkan bagi Nusantara, apalagi Nusantara pada waktu itu sangat terkenal dengan hasil bumi yang melimpah ruah. Dengan potensi sumber kekayaan yang begitu luar biasa tersebut, ternyata mengundang banyak Bangsa Kolonial untuk menguasai Nusantara, hingga pada akhirnya Bangsa Hindia Belanda mampu menguasai bumi Nusantara dengan menumbangkan kekuasaan Majapahit yang pada waktu itu merupakan kerajaan terbesar yang berkuasa Nusantara.

Masuknya Hindia Belanda sebagai penguasa ternyata bukan menjadikan rakyat makmur, dengan kepentingan ingin mengeksploitasi kekayaan Nusantara justru membuat rakyat menderita. Tanpa mempertimbangkan rasa kemanusiaan, rakyat pribumi diperas tenaga dan hasil kerjanya untuk memakmurkan Bangsa Koloni. Lebih diperparah lagi, Bangsa Hindia Belanda menerapkan system tanam paksa yang membuat rakyat menjadi semakin menderita. Kelaparan dan bangkai manusia tak berdaging dengan tulang yang menonjol seolah-olah menjadi pemandangan yang biasa pada waktu itu.

Berbagai perlawanan telah dilakukan oleh Nusantara, Pangeran Dipenogoro misalnya, semua menjadi harapan semu ketika perlawanan tersebut dapat dipatahkan oleh Koloni. Hindia Belanda menjadi semakin berkuasa menancapkan kuku Koloninya di Bumi Nusantara. Seolah menjadi rantai sambungan, Kartini sebagai pendekar Bangsa dan pahlawan kaumnya.

Di sebelah Utara Pulau Jawa yaitu Jepara, merupakan salah satu tempat yang dijadikan objek pemerasan oleh Hindia Belanda. Jepara merupakan tempat yang strategis untuk melakukan transaksi perdagangan karena letaknya di Pesisir Utara. Di samping itu Bumi Jepara merupakan tanah surge bagi makhluk hidup karena Jepara mampu menghasilkan tanaman pangan yang berkualitas, sehingga menjadi lahan kapitalisme perkebunan.

Jepara yang memesona akan kerajinan tangan serta kesenian rakyatnya, menjadi saksi bisu kelahiran perempuan ayu bernama Raden Ajeng kartini. Sejak menghembuskan nafas pertamanya di bumi, perempuan kelahiran 21 April 1879 hadir di tengah mengamuknya masa tanam paksa. Kartini sudah dihadapkan dengan kehidupan kolot orang Jawa yang tidak bisa dipisahkan dari dirinya yang ditakdirkan sebagai perempuan keturunan ningrat. Kemunculan Kartini menjadi akhir dari diskriminasi social terhadap perempuan Jawa yang hidup pada jamannya.

Bukti nyata dari pergeseran adat kebudayaannya yaitu ketika Kartini mulai menapaki bangku sekolah. Merupakan sebuah penghianatan bagi negerinya jika perempuan diperbolehkan mencicipi bangku sekolah. Perempuan hanya berdiam diri di rumah, sibuk di dapur dan pergi ke sawah. Tetapi di balik keayuannya tersebut, Kartini memiliki jiwa pemberani untuk menjadi perempuan cerdas. Ia merasa terpanggil oleh sejarah yang telah lama ada pada masa sebelumnya untuk bekerja demi keabadian, berjasa pada rakyat dan negerinya.

Sekolah pertama Kartini di Sekolah Rendah Belanda, satu-satunya sekolah yang ada di kotanya. Seperti kebiasaan Koloni, pertama kali Kartini menginjakkan kakinya di bangku sekolah, ia sering mendapatkan perlakuan diskriminatif dari anak-anak kompeni. Pelecehan sebagai orang pribumi ditelannya bak pil pahit yang mau tak mau harus ia terima. Kartini kecil tak patah arang dengan perlakukan seperti itu, justru ia menjadi tergugah dan sadar bahwa Koloni Hindia Belanda adalah bangsa yang rakus dan tak pantas mencengkeram tanah leluhurnya. Kartini muda yang dipandang lemah sebagai perempuan, ternyata memiliki keberania dan kegigihan yang luar biasa untuk membongkar adat budayanya sebagai perempuan Jawa.

Dengan kecerdasan dan pikiran yang terbuka Kartini mencoba untuk menyetarakn peran perempuan Jawa agar tidak lagi dipandang sebagai gadis pingitan yang hanya mengenal dapur, tetapi perempuan yang memiliki peranan sama dengan laki-laki. Baginya, perempuan adalah makhluk berpikir yang perlu lahan luas dalam memahami masalah diskriminasi social yang kerap ditujukan pada perempuan. Hanya karena banyak berpikirlah ia dapat melihat perbedaan yang mencolok antara kedudukan laki-laki dan perempuan.

Ia dapat melihat diskriminasi di tempatnya mengemban ilmu, anak-anak dibariskan menurut kategori kulitnya, kedudukan orangtuanya dalam susunan kepegawaian dan susunan social bahkan menurut jenis kelaminnya. Ras diskriminasi ini oleh Kartini diterima dari guru-gurunya. “Kebanyakan guru-guru ini tidak rela memberikan angka tertinggi pada anak Jawa, sekalipun si murid itu berhak menerimanya”, (surat, 12 Januari 1900 kepada Estelle Zeehandelaar). Sepenggal pengalaman sekolahnya ini ternyara menjadi kunci dari perjuangan Kartini yang tak kenal menyerah.

Keseharian Kartini kecil teramatlah prihatin ketika hari-harinya dilewati di dalam kamar pingitan, ia sebagai perempuan Jawa yang juga keturunan ningrat, harus menjalani adat pingit. Sejak berumur 12 atau 12,5 tahun, Kartini harus tinggal di rumah dan tidak diijinkan untuk keluar, jangankan untuk menengok dunia luar, bernapas menghirup udara bebas saja tidak diperkenankan. Kala itu Kartini tak mampu melawan, ia tidak berdaya untuk menentang adat kolot ayah dan leluhurnya, ia hanya mampu memberontak dalam hati dan meratapi nasibnya sebagai perempuan pingitan.

Kemerdekaannya dalam menentukan garis pilihan terhapus karena cinta kasih gadis cilik yang begitu mengagungkan ayahnya. Kartini tidak sampai hati untuk melukai hatinya. Keterpojokan pada pilihan yang menyelakakan kehidupan hati seorang gadis cilik, sekaligus mengubahnya menjadi dewasa sebelum waktunya.

Sisi lain dari Istri R.T.A.A Djojohadiningrat yang juga seorang Bupati Rembang, memiliki jiwa hormat yang besar pada leluhurnya, lebih-lebih karena ia merasa bangga pada leluhurnya. “Hormatnya yang mengharukan dari yang muda-muda kepada yang tua-tua; hormat yang hidup kepada yang telah meninggal”, (surat, 15 Agustus 1902 kepada Estelle Zeehandelaar). Kebanggaannya tersebut seolah tercorak dalam warisan yang bersifat fisik. Bentuk wajahnya yang bulat dan mata yang mencerminkan ciri kebangsawanan pribumi. Tetapi perbedaan fisik yang menyolok antara Kartini dan leluhurnya terpusat pada hidungnya yang bukan lagi cerminan kakeknya R.M.A Tjondronegoro ataupun ayahnya R.M.A Sosroningrat. Itulah hidung yang diwariskan oleh Ibunya, Ngasirah, seorang wanita yang berasal dari rakyat jelata.

Perjuangan Kartini dimulai dari pemberontakannya terhadap seluruh tata hidup feodalisme pribumi. Ia juga sangat prihatin terhadap permaduan yang menjadi lumbung penderitaan perempuan pribumi. Sebagai pemandangan yang sudah biasa ia lihat adalah permaduan ayahnya sendiri. Dalam penolakannya terhadap permaduan, Kartini diuji akan kecintaan terhadap ayahnya yang juga menikmati permaduan pada ibunya. Namun, seolah menjadi musuh dalam selimut yang tak mampu ia sakiti. Kartini juga bekerja untuk kemajuan perempuan pribumi yang tertindas juga peningkatan derajat kaumnya.

Secara spontanitas, tentunya perjuangan belau sangatlah besar dan sporadic di berbagai aspek kehidupan perempuan. Sosok Kartini yang utuh dan menyeluruh selain dilihat dari sudut cultural yang memiliki identitas sebagai perempuan Jawa, Kartini juga merupakan pendidik yang secara politik mempunyai kesadaran atas identitas perempuannya yang tterjajah. Di sudut yang berbeda, Kartini merupakan seniman yang pandai menulis buku, melukis dan membatik.

Kini, di era golabalisasi yang serba modern ini, peranan kaum perempuan cukup eksis untuk sekadar menyuarakan hak-hak apa saja yang wajib mereka dapatkan. Namun, yang menjadi pertanyaan, sejauhmanakah vibrasi atas perjuangan Kartini terhadap jiwa-jiwa perempuan Indonesia? Seperti kita ketahui tepat pada 21 April secara kontinyu diapresiasikan dalam kalender Indonesia sebagai Hari Kartini. Terlihat kegiatan-kegiatan yang menafsirkan Kartini atas identitas kulturalnya. Sosok Kartini yang identik dengan suasana Jawa, kebaya dan sanggulnya,ditiru secara penampilan oleh anak-anak kecil dan perempuan Indonesia setiap tanggal tersebut. Menjadi sebuah penghormatan atas dasar keyakinan bahwa Kartini adalah pahlawan emansipasi wanita yang berhasil membuktikan keterlepasan kaum perempuan dari kungkungan, merdeka dan bebas dalam mencicipi bangku pendidikan setinggi langit. Sungguh menjadi pertanggungjawaban bersama bagi perempuan Indonesia untuk tetap berperan dalam menyetarakan kedudukan kaumnya, dalam menatap latar depan yang sarat terkena interupsi oleh sebiji batu kerikil sehingga terjatuh. Bangkit dan maju terus, lorong kehidupan masih panjang.

1 komentar:

  1. Hello!

    Nggak terasa udah mau Hari Kartini lagi ya?

    Ini ada artikel tentang Kartini juga, "Hari Kartini, Pahlawan Pendidikan" di cantik40s.blogspot.com.

    :)

    Thanks,
    AFM

    BalasHapus